KOMPAS.com — Facebook sangat fenomenal dan populer dewasa ini, mulai dari anak sekolah sampai opa-oma memakai Facebook. Dari Fidel Castro sampai Dalai Lama punya akun Facebook. Saya sempat berpikir, pasti tidak ada manusia yang tidak mengenal Facebook. Ternyata pikiran saya keliru.
Ada 1,3 miliar manusia di muka bumi ini tidak mengenal Facebook, yaitu masyarakat China. Mereka hidup di balik tembok tebal (firewall) internet yang dipasang oleh pemerintah China. Konon ada beberapa orang kaya dan menguasai teknologi komputer yang bisa membobol firewall tersebut—tentu saja termasuk hacker China yang terkenal itu.
Pemasangan firewall yang dilakukan oleh pemerintah China bukan tanpa tujuan. Tujuan utamanya untuk pertahanan negara. Tujuan berikutnya untuk memaksimalkan penggunaan produk lokal (buatan sendiri).
Segala sesuatu yang laris ada versi China-nya. Mulai dari produk makanan dan minuman sampai sepeda motor, semua ada versi China-nya. Atau, sebutlah Chiphone—iPhone versi China. Setiap barang duplikat yang diproduksi di sana dimaksudkan agar masyarakat China hanya mengonsumsi dan menggunakan barang-barang buatan mereka sendiri.
Dengan demikian, defisit neraca perdagangan bisa ditekan sampai ketitik terendah (karena mereka tidak banyak impor barang). Terbukti taktik itulah yang membuat ekonomi China sekarang ini menjadi sangat stabil, bahkan mampu menggoyang Amerika Serikat.
Kembali ke topik utama (Facebook). Lalu bagaimana mereka berkomunikasi? Apakah mereka menggunakan kentongan?
Tentu saja tidak. Namanya bukan China kalau mereka tidak memiliki barang hasil buatan mereka sendiri. Mereka memiliki jejaring internet sendiri yang menghubungkan antara masyarakat China yang satu dengan yang lain. Termasuk jejaring pertemanan. Facebook versi China!
Renren (Facebook-nya China)
Di tengah-tengah kemajuan ekonomi China, tentu saja moderenitas juga tidak terhindarkan. Di sana ada dua situs jejaring sosial yang sangat populer—dipergunakan oleh hampir semua masyarakat China (yang memiliki koneksi internet tentunya). Namanya Renren dan Kaixin001.
Renren yang menyasar segmen pelajar dan mahasiswa hadir sejak 2005. Adapun Kaixin001 yang menyasar kaum profesional muda China hadir sejak 2008. Di antara dua itu, Renren sangat mirip dengan Facebook—arsitektur halaman, desain layout, hingga warnanya (biru-putih).
Menurut kerabat saya yang kuliah nyambi kerja di Beijing sana, dalam banyak hal, aktivitas masyarakat China di sosial media sangat mirip dengan orang Singapura maupun kita di Indonesia.
Pegawai kantor yang bekerja menggunakan komputer berinteraksi di sosial media (Renren dan Kaixin001) sepanjang hari. Pulang kantor, sampai di rumah pun masih online menggunakan HP. Update status, berkomentar, like, share, sama seperti kita di Facebook.
Opa-oma pun tak ketinggalan. Mereka menanam kentang, tomat, di FarmVille-nya Renren. Tentu saja namanya bukan FarmVille. Ya mirip FarmVille-lah barangkali.
Ada sedikit perbedaan. Konon orang di daratan China sana lebih agresif dan aktif berkomunikasi di Renren maupun Kaixin001, dibandingkan pengguna Facebook dari negara lain. Mungkin jumlah status dan komentar yang mereka buat dalam sehari mencapai dua kali lipat dari jumlah yang dibuat oleh rata-rata orang kita di Indonesia yang menggunakan Facebook. Hmm... berarti intensitasnya mirip orang Singapura.
Seperti Facebook, pertumbuhan jumlah pengguna Renren pun konon sangat pesat. Dengan jumlah penduduk mencapai 1,3 miliar jiwa—hampir sepertiga jumlah orang online di seluruh dunia, Renren mengklaim sekitar 165 juta pengguna. Sementara Kaixin001 hanya 95 juta.
Sebuah hasil penelitian pernah dipublikasikan oleh Netpop (San Francisco). Penelitian itu menunjukkan, sosial media dua kali lebih besar pengaruhnya terhadap keputusan membeli pengguna internet di China dibandingkan situs lainnya. Itu luar biasa. Banyak brand kenamaan dunia (Apple, BMW, Estée Lauder, Lay's, dan lain-lain) lebih memilih memasang iklan di Renren maupun Kaixin001 daripada di Facebook maupun Twitter.
Wang Xing (Mark Zuckerberg-nya China?)
Awalnya, Facebook ala China ini bernama Xiaonei (artinya "di kampus"), yang dibuat oleh seorang pemuda bernama Wang Xing, jebolan Universitas Tsinghua (MIT-nya China hehehe…, kan segala sesuatu diduplikasi oleh China hehe...). Tahun 2003, Wang Xing drop out dari pendidikan PhD Delaware University (Amerika) dan pulang ke Beijing untuk membuat Friendster versi China, tetapi gagal. Dua tahun kemudian, Wang Xing mendengar tentang Facebook dan memutuskan untuk membuat duplikatnya (baca: Facebook versi China) yang dia sebut Xiaonei.
Awalnya, menurut Wang Xing, Xiaonei dibuat untuk membuat dunia yang lebih baik, terutama dunia kampus (Universitas Tsinghua, maksudnya). Dengan modal 300.000 renminbi (sekitar 45.000 dollar AS), Wang Xing mengajak dua rekannya untuk mendirikan Xiaonei tahun 2005.
Dalam beberapa hari saja Xiaonei langsung bisa mengumpulkan 4.000 anggota. Konon beberapa bulan setelah itu, bertepatan dengan Tahun Baru China, Xiaonei mencarter bus untuk mengantarkan anggotanya yang berjumlah ribuan itu untuk pulang kampung di berbagai daerah di daratan China.
Inilah perbedaan Wang Xing dengan Mark Zuckerberg. Wang Xing bukan Mark Zuckerberg-nya China. (Menurut teman saya itu, orang China juga tahu Mark Zuckerberg yang asli kok... ha ha ha ha).
Tahun 2006, Xiaonei dijual kepada Oak Pacific Interactive dengan nilai sekitar 4 juta dollar Amerika. Mungkin Wang Xing pikir, uang 4 juta dollar AS sudah sangat banyak saat itu. Ya, jelas sangat banyak dibandingkan modalnya yang hanya 45.000 dollar AS. Tetapi menjadi sangat sedikit jika dibandingkan dengan nilai Xionei yang sekarang disebut Renren oleh si pemilik barunya.
Katakanlah ini fotokopinya Facebook—karya orang Barat yang mereka kopi, sesuaikan, tambahkan, modifikasi, dan seterusnya hingga tercipta situs jejaring sosial bernama Renren dan Kaixin001. Situs sosial media modern yang mengiringi perjalanan sejarah orang China menuju beradaban yang lebih bebas dalam berekspresi, terlepas dari masifnya pelanggaran hak cipta (copyright) yang dilakukan masyarakat China sana.